Beranda | Artikel
Membaca Shalawat Nariyah, Mendatangkan Ketenangan ?
Rabu, 10 April 2013

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH, MENDATANGKAN KETENANGAN?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Kebiasaan membaca shalawat Nariyâh sudah sangat populer, tidak terkecuali masyarakat Muslim di tanah air. Hal ini tiada lain –diantaranya- disebabkan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar yang disebutkan bagi orang yang membaca shalawat tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang meyakini bahwa membaca shalawat ini merupakan perwujudan cinta dan pengagungan besar kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keterangan yang mereka sebutkan tentang shalawat ini, barangsiapa yang membaca shalawat ini sebanyak 4444 kali, dengan niat menghilangkan kesusahan atau memenuhi hajat (kebutuhan), maka semua itu akan terpenuhi[1] (??!!). Ada juga yang mengatakan bahwa dengan membaca shalawat ini hati menjadi tenang dan dada menjadi lapang (??!!). Benarkah semua itu dapat dicapai dengan membaca shalawat tersebut?

Sumber Ketenangan dan Penghilang Kesusahan yang Hakiki

Setiap orang yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berdzikir kepada kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, membaca al-Qur’ân, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan sibuk dalam ketaatan kepada-Nya.

Allâh Jallaluhu berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh hati menjadi tenteram  [ar-Ra’du/13:28]

Maksudnya, dengan mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala (berdzikir), segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan keceriaan[2]. Bahkan tidak ada sesuatu pun yang lebih mendatangkan ketenteraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berdzikir untuk mengingat  Allâh Jallaluhu[3].

Salah seorang ulama Salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Kemudian ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”. Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan merasa bahagia ketika berdzikir serta melakukan amal ketaatan kepada-Nya”[4].

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum memasuki surga di dunia ini, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[5].

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berdzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya, yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala [6].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya [ ath-Thalâq/65:2-3]

Ketakwaan yang sempurna kepada Allâh tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah dan menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allâh Jallaluhu[7].

Dalam ayat berikutnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya [ath-Thalâq/65:4]

Artinya, Allâh Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, dan menyediakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[8].

Benarkah shalawat Nariyâh Merupakan Sumber Ketenangan Jiwa dan Penghilang Kesusahan?

Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa menilai dengan benar, apakah membaca shalawat Nariyâh termasuk bentuk dzikir dan amal ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dikatakan  sebagai sumber ketenangan jiwa dan penghilang kesusahan?

Kalau kita merujuk literatur yang menyebutkan shalawat ini, kita dapati bahwa shalawat ini sama sekali tidak bersumber dari al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun keterangan Sahabat . Bahkan tidak juga dijumpai dari keterangan salah seorang Ulama Ahlus Sunnah yang terkenal, seperti Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik bin Anas, Imam Syâfi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan imam-imam lainnya.

Salah satu situs di internet menyebutkan bahwa shalawat ini disusun oleh salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Syaikh Nâriyah, dia selalu membaca shalawat ini, dan suatu malam dia membacanya sebanyak 4444 kali sehingga dia mendapat kemuliaan dan keutamaan besar dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala[9] . Akan tetapi, kisah yang lebih pantas disebut dongeng ini terlalu jelas bukti kebohongannya seperti jelasnya matahari di siang bolong! Pertama, karena kisah ini tidak disertai penyebutan sanad (mata rantai periwayatan)nya, juga tidak disebutkan kitab hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau riwayat para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menukilnya, sehingga bisa diteliti keabsahannya. Kedua, dalam kitab-kitab para ulama yang memuat nama-nama dan biografi para Sahabat Radhiyallahu anhum , tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan adanya seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah.

Kalau demikian, berarti shalawat ini –tidak diragukan lagi- termasuk perkara bid’ah [10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].

Atas dasar itu, tidak mungkin shalawat bid’ah seperti ini akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi orang yang membacanya, apalagi sampai menjadi sumber penghilang kesulitan baginya. Sebab, hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketantraman.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allâh telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitâb (al-Qu`ân) dan al Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata  [Ali ‘Imrân/3:164]

Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allâh Subhanahu wa Ta’ala)[12].

Dalam ayat lain, Allâh Jallaluhu berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman  [Yûnus/10:57]

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit, karena air hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala  akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allâh wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allâh turunkan ke bumi…”[13].

Bahkan bukti terbesar yang menunjukkan kebatilan dan kerusakan shalawat ini adalah isinya yang mengandung kesyirikan. Perhatikan teks shalawat tersebut di bawah ini:

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang utuh kepada junjungan kami (Nabi) Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat teratasi, semua kesusahan dapat dihilangkan, semua hajat dapat terpenuhi, dan semua harapan yang diinginkan serta husnul khatimah (kematian yang baik) dapat diraih, serta hujanpun turun dari awan berkat wajahnya yang mulia. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.

Kalimat-kalimat di atas jelas sekali mengandung kesyirikan yang nyata, dengan menyandarkan pemenuhan (penyelesaian) hajat, penghilang kesulitan dan pencapaian husnul khatimah (kematian yang baik) kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal semua perkara tersebut merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang tidak mampu dilakukan oleh seorang makhlukpun.

Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu ketika menyanggah kandungan shalawat yang rusak ini, beliau berkata: “Kandungan shalawat ini adalah kebatilan  dan tidak berlandaskan dalil sama sekali. Karena tauhid yang diserukan oleh al-Qur`ân yang mulia dan diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, mewajibkan bagi setiap Muslim untuk meyakini bahwa Allâh satu-satunya Dzat yang berkuasa mengatasi semua kesulitan, menghilangkan semua kesusahan, memenuhi semua kebutuhan, dan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Tidak diperkenankan bagi seorang Muslim menyeru kepada selain-Nya untuk menghilangkan kegundahannya atau menyembuhkan penyakitnya, meskipun yang diseru itu malaikat atau nabi yang mulia. (Dalam) al-Qur`ân, (Allâh) mengingkari (perbuatan) menyeru kepada para nabi dan wali selain Allah. Allâh berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلا. أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allâh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan aDzab-Nya. sesungguhnya aDzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti [Al-Isrâ/17:57]

Bagaimana mungkin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha jika dikatakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penuntas kesulitan dan penghilang kesusahan, padahal (Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam) al-Qur`ân berfirman dan memerintahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: ”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan, kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” [al-A’râf/7:188]

Seorang lelaki pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Tergantung) apa yang Allâh Azza wa Jallaehendaki dan yang engkau kehendaki”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kamu (ingin) menjadikan aku tandingan (sekutu) bagi Allâh? Katakanlah, (Tergantung) apa yang Allâh kehendaki semata-mata!”[14] Hadits hasan riwayat an-Nasâ’i[15].

Ketenangan Batin yang Palsu

Kalau ada yang berkata, “Fakta menyatakan, di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin setelah membaca shalawat ini maupun dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah (yang tidak diajarkan oleh Nabi n ) lainnya”.

Jawabannya, kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar terlihat indah di mata manusia.

Allâh Jallaluhu berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.[Fâthir/35:8]

Maksudnya, setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[16].

Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) [al-An’âm/6:112]

Artinya, para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[17].

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan dzikir-zikir (wirid-wirid) bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allâh Jallaluhu, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan anehnya, sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan dzikir-dzikir (wirid-wirid) yang bersumber dari wahyu Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnul Qayyim membuat perumpaan hal ini[18] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong dan telah rusak?

Jawabnya, jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan (melakukan) keburukan tersebut”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar. Segala puji bagi Allâh yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[19].

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah (tanda) kemurnian iman”[20].

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

  • Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan, itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya
  • Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia merupakan tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[21].

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika ada yang mengatakan kepada beliau: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Maka ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menjawab: “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[22].

Nasehat dan Penutup

Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat seputar masalah ini dari Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu yang berbunyi: “Wahai saudaraku sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk dzikir dan wirid bid’ah, yang akan menjerumuskanmu ke dalam (jurang) syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Berkomitmenlah dengan dzikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang insan yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu (melainkan dari wahyu Allâh Jallaluhu). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (kita akan meraih) hidayah Allâh Azza wa Jalla dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak” [HR Muslim]”[23]. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu dalam Fadhâ-ilush Shalâti was Salâm hlm. 48
[2] Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 417
[3] Ibid.
[4] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân 1/72
[5] Dinukil oleh murid beliau, Ibnul Qayyim dalam al-Wâbilush Shayyib  hlm. 69
[6] Lihat al-Wâbilush Shayyib hlm. 69
[7] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jâmi’ul Ulûmi wal Hikam hlm. 197
[8] Tafsir Ibnu Katsir 4/489
[9]  www.indospiritual.com
[10]  Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] HR Muslim no. 867, an-Nasâ-i no. 1578 dan Ibnu Mâjah no. 45
[12] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/267
[13] HR. al-Bukhâri no. 79 dan Muslim no. 2282
[14] HR Ahmad 1/347 dan al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad no. 783. Syaikh al-Albâni menilainya shahih.
[15] Fadhâilush Shalâti was Salâm hlm. 48-49
[16] Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 685
[17]  Ma’âlimut Tanzîl 3/180
[18] al-Wâbilush Shayyib hlm. 40-41
[19] HR. Ahmad (1/235) dan Abu Dâwud no. 5112
[20] HR. Muslim no. 132
[21] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam al-Fawâid hlm. 174
[22] Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam al-Wâilush Shayyib hlm. 41
[23] Fadhâilush Shalâti was Salâm hlm. 49


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3576-membaca-shalawat-nariyah-mendatangkan-ketenangan.html